[FICTION] BOLD – Chapter 1 – Series

BOLD

Cast:

Carla
Caroline

.

.

Kami sampai. Wah, tempat ini begitu mengagumkan. Jika aku melihat dari posisi aku sekarang berdiri, akan tampak tebing yang sangat tinggi. Sebelum sampai ke tebing, aku bisa melihat hamparan sungai yang sangat jernih airnya. Di arah sebelah kiri adalah perbukitan dan bebatuan alami yang terkikis. Lalu, di sebelah kanan ada tempat yang lumayan lapang, yang permukaannya bisa dijadikan tempat beristirahat.

“Carl, Carol, cepat angkat barang-barang itu kemari. Barang yang berat biarkan ibu dan ayah saja yang turunkan.”

“Ya, bu! Ayo Carol.”

“Ayo.”

Carl menarikku segera menuju mobil kami yang terletak agak jauh dari tempat kami sebelumnya yang akan dipakai untuk istirahat. Kami sekarang sedang libur musim semi, dan kami sekeluarga sepakat untuk melakukan piknik. Seperti piknik kebanyakan, kami juga membawa barang-barang yang hampir memenuhi mobil kami. Haha, menyenangkan.

“Bawa semuanya kesana.” Carl meletakkan beberapa barang ke lenganku. Aku menatapnya, lebih tepatnya menyiratkan tanda tanya.

“Bawa itu. Kau yang bawa dari sini, biar aku yang menyortir dari mobil untuk kau bawa.”

“Ibu menyuruh aku dan kau, Carl.” Aku menegaskan. Tapi seperti biasa, Carl tidak menyahut apa yang aku protes, dan pada akhirnya akupun pergi membawa semua barang ini. Sendirian. Aku berjalan hati-hati agar tidak tersandung dan tidak menimbulkan masalah dengan barang-barang ini. Apalagi ini adalah makanan. Yeah, yang benar saja kalau sampai aku menjatuhkan semuanya.

 “Mana Carl?” ibu bertanya sembari mengambil barang yang kubawa untuk ditaruh di tikar.

“Dia menyortir barangnya, bu.”

“Oh… Kalian memang hebat kalau berhubungan dengan teamwork. Hehe.” Ibu mengacungkan jempolnya. Aku tersenyum kemudian kembali menuju mobil untuk mengambil lagi barang yang tersisa.

“Kau ini begitu saja lama, Carol. Mengangkat barang begitu saja tidak bisa. Ini semua bicara tentang speed. Ya, kau harus cepat supaya pekerjaan ini selesai dan aku bisa segera bergabung bersama ayah dan ibu. Dan makan siang.” Carl mengoceh.

Ini semua karena kau tidak banyak membantu.

“Kau tidak niat mempercepat semua pekerjaan ini dengan membantuku membawanya?” tanyaku. Ah, lagi-lagi aku bertanya hal yang tidak akan pernah ada solusinya. Carl memang tidak pernah mau membantu. Dia hanya suka mengatur. Aku tidak suka kakakku.

“Tidak.”

Dan sekali ia menjawab, pasti jawabannya begitu.

“Yasudahlah. Kemarikan semuanya.” Aku meraih barang yang tersisa dan segera bergegas membawanya. Toh lagipula semakin cepat aku mengerjakannya, semakin cepat aku bisa bersantai.

“Nah, begitu seharusnya.” Carla mengangguk-angguk sambil memandangku pergi.

Carla dan aku adalah saudara kembar. Ia lahir beberapa menit lebih awal sehingga dia menjadi kakakku. Kenyataan itu membuat Carla menjadi agak mendominasi hidup kami. Maksudku, dia jadi bertingkah sebagai orang yang paling tahu segalanya, paling suka mengkritik, dan menganggap segala sesuatu harus dapat persetujuannya. Carla adalah orang yang sangat cerewet padaku. Ia suka mengatur dan membuatku kesal. Lagi, dia suka membiarkanku kesulitan sendirian, sementara aku orang yang tidak terlalu mau komplain apalagi mengadu pada ibu atau ayah.

Carla suka sekali melukis. Pernah satu kali aku melihatnya serius saat berada di kelas seni. Aku tidak pernah melihatnya begitu serius selama kami hidup 9 tahun. Biasanya dia hanya sibuk bermain dan bermain bersama teman-teman dekatnya. Namun waktu itu berbeda. Carla tidak melepaskan pandangannya dari kanvasnya, sampai akhirnya lukisannya selesai, dan terlihatlah gambar yang dia buat, sangat mirip dengan aslinya. Semua orang terpana dengan hasil pekerjaannya. Namun penyakitnya adalah, dia jadi suka besar kepala.

Carla selalu jauh lebih baik dariku. Segalanya. Akademik, olahraga, seni, fisik yang sangat sehat, sosialisasi yang baik, dan penampilan. Dia sangat mengerti fashion untuk ukuran anak berumur 9 tahun. Dia berprestasi di kelas, dia juga jago di bidang seni seperti yang kuceritakan barusan. Dia pandai mengumpulkan teman. Dia punya banyak potensi. Itu adalah hal yang membuatku bangga memilikinya sebagai saudaraku.

Tapi, di satu sisi, dia menyebalkan dengan semua bakatnya. Carl jadi suka meremehkanku dan memperlakukanku dengan tidak enak. Ah, tidak sampai yang fisik, namun lebih ke cerewet. Dia cerewet dan selalu mengkritik apa yang kukerjakan. Yeah, aku tahu dia berbakat, tapi bukan berarti dia berhak membullyku seperti itu.

Satu hal yang aku unggul darinya adalah, rajin. Aku orang yang paling rajin diantara kami berdua. Aku bangun tepat waktu, makan tepat waktu, bisa membereskan barang-barangku dengan baik, aku merapikan kasurku setelah bangun, aku menyelesaikan tugasku tepat waktu (meski hasilnya tidak selalu lebih baik dari Carla yang mengerjakan dengan terburu-buru, –aku benci kenyataan itu-), aku bisa diandalkan dalam menyelesaikan sesuatu, sementara Carla orang yang suka menunda-nunda.

“Hey kau, melamun saja. Cepat. Jalanmu bahkan kalah dengan bebek.” Carla menepokku dari belakang dan membuatku terkejut.

“Carl, Carol. Ayo cepat kemari, kita segera makan kemudian bermain.” Ibuku memanggil kami seraya membenahi kotak makanan di tikar, sementara itu ayah sepertinya sudah selesai membuat perapian, berhubung kami berencana ingin disini sampai malam.

***

“Nah, kalian harus pakai ini. Setidaknya kalian berenang memakai pelampung sekalipun kalian jagonya kalau berenang.”

Baiklah. Sudah waktunya berenang. Yeah. Aku dan Carl sudah mengganti pakaian kami dan siap untuk masuk ke sungai.

Byur~

“Ayah, ayo susul kami.”

“Ayoooo!!! Ayah harus bergabung!”

“Haha, anak-anak, tunggu saja sampai ayah menangkap kalian.”

“Hahahaha..” Aku dan Carl tertawa. Kami berenang di areal yang dekat dengan kemah bersantai kami. Cuacanya sedang hangat. Ah… Bagus sekali. Rasanya pernapasanku semakin segar setelah sebelumnya melewati musim dingin yang panjang. Oh ya, beberapa keluarga lain sepertinya baru tiba di tempat liburan ini. Mereke juga ada beberapa yang sudah bersiap untuk masuk berenang. Tempat ini biasanya memang didatangi beberapa orang ketika musim semi, namun sungguh tidak terlalu ramai karena tempat ini masih jarang diketahui orang awam.

Aku memperbaiki posisiku, yang akhirnya agak berbaring di atas ban pelampungku. Rasanya seru sekali sambil bisa mendengar kicauan burung disekitar kami. Lokasi ini masih alamiah namun sudah terjamah manusia. Aku memejamkan mataku sambil mendayung-dayung ban pelampungku menggunakan tanganku.

“Hei! Hei Carol! Buka matamu!” Aku merasakan Carl menepuk bahuku dan menyadarkanku dari lamunanku. Ya, aku tadinya sedang tiduran.

“Kenapa?”

“Ayo menepi kesana.” Carl menunjukku ke satu tepian yang terlihat lebih mirip gua kecil yang jika dimisalkan hanya muat dilewati seekor anjing besar.

“Oh ya, kita sudah berenang sampai dimana?”

“Sudah tidak usah banyak tanya, aku sejak tadi mengikutimu, makanya kita sampai disini. Lagipula ibu menyuruhku untuk tidak terpisah denganmu.” Jawab Carla.

“Lalu untuk apa kita menepi? Kita kembali saja, yuk?”

“Aku ingin kesana. Kau harus menemaniku, karena aku sudah menemanimu sampai disini. Kalau aku tidak menemanimu, pasti kau sudah hanyut.” Carla kembali menjawab. Benar juga.

“Untuk apa kesana? Itu hanya bebatuan di dinding tebing yang ada lubangnya. Aku tidak mau, Carl.”

“Ah, kau penakut sekali, dasar payah! Sampai kapan kau begini, ckck. Kau harus menemaniku kesana. Siapa tau di lubang itu ada harta karun.”

“Kau bicara apa. Haha… Harta karun milik flying Dutchman? Haha.” Aku terkekeh.

“Kau mau ikut atau tidak? Kalau tidak, yasudah aku pergi sendiri tapi kau tidak akan tahu caranya pulang.” Carla kemudian menggerakkan ban pelampungnya ke arah dinding tebing itu dan mulai meninggalkanku. Ck. Aku tidak mungkin meninggalkannya.

“Carl, tunggu.” Aku pun menyusulnya.

TO BE CONTINUED

.

.

~~A u r o r a~~

3 pemikiran pada “[FICTION] BOLD – Chapter 1 – Series

  1. 잘한다! btw ini blognya hyung kah? keren ah, gw suka castnya anak kembar. tapi belum ada unsur kpop atau korea gitu ya hyung :3 atau emang ga ada xD

    Suka

Tinggalkan komentar